Sinar Harapan, 06 Juni 2006.
Interaksi Seni Seorang Bruder Muda terhadap Bali
Oleh
Sihar Ramses Simatupang, Sinar Harapan.
Jakarta – Suara tembang Bali mengisi ruangan gedung CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di Jl Tanah Abang III, Jakarta Pusat. Di sana berjejer karya J-Philippe , pelukis muda asal Prancis. Cahaya lampu menyorot karya-karya berupa foto dan lukisan.
Dalam kedua macam media karyanya itu, Philippe punya dua bahasa visual saat menangkap kebersahajaan masyarakat Bali. Fokusnya yang dominan adalah masyarakat dengan ritual, kehidupan agraris dan serangkaian pranata adat.
Dalam pengantarnya, pengamat seni Jean Couteau mengungkapkan, orang tak akan menaruh syakwasangka itu bila melihat karya J Philippe dengan niatan semacam itu. Ini bukan semata sebuah niatan orang asing atas eksotika Timur – yang sering disebut sebagai tanda kuasa pascakolonial.
Dengan keterampilan stilistik dan tekniknya, ungkap Couteau, karya J Philippe lebih mengandung ungkapan pribadi atas Bali, keintiman dan sensitivitasnya secara personal. Kehidupan seniman asing saat datang ke Bali tak harus dimaknai sebagai pendekatan mata orang asing terhadap keindahan alam Indonesia. Saat alam mempengaruhi individu – si seniman – pendekatan personal lebih menonjol dalam berinteraksi.
J Philippe, seorang Katolik yang datang bekerja ke Bali tahun 1991 bukan untuk alasan ekonomi. Dia datang sebagai bruder muda untuk mengembangkan sekolah kerajinan yang dibuka di Gianyar oleh Pastor Le Coutour dan masyarakat Katolik setempat. Baginya, Bali ideal, karena kehidupan beragama masih terasa sebagai kehidupan bersama.
Seniman kelahiran Prancis, tahun 1969, ini tak memilih karya berkriteria seni kontemporer. Hal itu bisa saja terjadi karena realitas tempat dia tinggal mempengaruhi sensitivitas berbeda saat memandang kehidupan Bali. Nilai ideal terhadap keseimbangan sosial dan fisik dalam masyarakat tradisional Bali mempengaruhi dirinya – atau siapa pun – sebagai sumur ide yang tak habis untuk digali. Pilihan bahasa visual akhirnya dia tempuh: objek figuratif tergurat di atas medium warna abstraktif.
Dua Bahasa Visual
Dalam medium seni, bagaimana Philippe bisa mempercayai dua medium sebagai representasi dari lingkungan dan masyarakat Bali? Sekalipun kekuatan juga tampak dalam fotonya, contohnya bagaimana J-Philippe menggunakan pencahayaan atas objek-objek fotonya. Dan karya lukisannya memperlihatkan estetik yang lebih terasa; J-Philippe membebaskan realitas.
Panorama itu memang tetap dalam geografis yang sama. Hanya memang ada pengerjaan yang berbeda. Dengan teknik estetika fotografi, bagaimanapun realitas karya fotonya lebih terasa.
Karyanya dalam pameran ini tak diberi judul variatif. Dia hanya membubuhkan serigrafi dari tema Passage (jalan, red). Ada yang bertajuk Passage I, Passage II, Passage III, dan seterusnya. J-Philippe menggabungkan figuratif dan abstraktif dalam karya lukisannya. Ide J-Philippe memainkan fungsi personal dan karakter. J-Philippe menggunakan media campuran sebagai paduan yang harmonis. Walau untuk medium dasar, dia membleberkan warna lebih dulu. Warna yang melebar acak di atas permukaan kertas. Warna yang terlihat kuat menguasai ruang.
Goresan pensilnya pun mematuhi bidang warna. Pensil di atas kertas, kontur garis yang halus. Goresan figur pensilnya ini “tak pernah keluar” dari ruang warna yang dituangkan. Warna, sebuah ruang yang dia ciptakan atas tindakan spontanitas dan estetika. Bisa mematuhi ruang, komposisi, namun tetap nir-bentuk.
Harmoni antara proporsi dan ruang warna yang mbleber ini memungkinkan terbentuknya suasana individual, bahkan untuk para pengamat karyanya. Untuk pengerjaan itu, Philippe cukup teliti. Selain detail, dia juga memilih bentuk-bentuk realis dan proportif. Anatomi, lekuk pakaian, gurat tangan dan wajah manusia, gerak dan ekspresi wajah. Pendekatan untuk guratan pensil ini unik karena Philippe selalu menimpanya dengan medium cat air yang mbleber tadi, goresan warna emas yang horizontal dan terkesan spontan pun dia tuangkan.
Copyright © Sinar Harapan 2003