Di persimpangan abstraksi dan figurasi, lukisan dan fotografi.
Bali di Mata J-Phillipe : Pintu Menuju Persaudaraan.
Oleh Jean Couteau [1]
Mata kita pertama-tama tertarik ke lelehan-lelehan berwarna pastel yang menyebar ke ruang kertas. Disini terlihat noda-noda, disana bintik-bintik mirip krikil, dan membelakanginya tampil samar-samar beberapa sosok tak jelas. Suasana hening nan damai meliputi karya lukis atas kertas itu. Waktu itu terlihat ada unsur abstraknya: suatu bahasa “rasa” yang diungkap melalui ekspresi olahan warna. Namun, ketika mata lebih lama memandang karya itu, tampil bacaan yang lain. Dari belakang luas wash berwarna pastel itu kini tampil siluet kontur-kontur garis halus dari suatu adegan kehidupan pedesaan khas Bali. Seolah ditampilkan dan sekaligus disembunyikan oleh kehadiran wash berwarna pastel di atas. “Rasa” kita, yang tadinya terbangun oleh ciri abstrak karya, kini digiring mengapresiasi suatu tanah idilis yang “kebetulan” bernama Bali.
Di dalam bertemuan abstraksi dan figurasi – dan keseimbangan antara keduanya- itulah J-Philippe menemukan ruang ilhamnya.
Dan bukanlah hal yang mudah mempertemukan yang berbeda itu.
Salah satu masalah utama yang dialami oleh pelukis manapun adalah « bagaimana mengelola hubungan antara warna dan garis. Apakah dia akan membiarkan warna “mengatur” ruang dan komposisi, dan juga membentuk benda dan figur-figur manusia, atau apakah dia akan mengikuti irama formal yang ditentukan oleh latarbelakang grafis. Sebaliknya, apakah garis dapat tetap “otonom” bila ruang “diinvasi” oleh warna. Bagaimana mencapai keseimbangan antara bahasa garis dan bahasa warna. Di dalam hal karyanya J-PHILIPPE, dorongan kreatif utama datang dari warna. Adegan gambar hitam putih selalu mengikuti irama yang ditentukan oleh latar belakang berwarna. Garis-garis hitam putihnya sangat halus, disisipkan “hampir tak nampak”di dalam suasana umum lukisan. Dan memang dia tidak berniat “mendeskripsi” apapun, tetapi menyiratkan. Suasana itulah yang terasa meliputi karya. “Jika saya tidak suka ruang lelehan “wash” berwarna, saya tidak meneruskan kerja,” kata J-PHILIPPE, ”saya tidak menambah unsur graphisnya. Saya tidak merampungkan karya.”
Karena tuntutan ini, akhirnya karya jadinya selalu menampilkan pembauran halus dari unsur-unsur abstrak dan figuratif. Unsur figuratif hanya menambah elemen impian nyata pada suasana impian yang sudah diciptakan abstraksi.
Salah satu masalah klasik lainnya yang sering dihadapi pelukis berkenaan dengan “representasi”. Apa yang hendaknya diambil dari dunia khayal, dari ekspresi spontan dan dari realita obyektif? Abstraksi memiliki logika sendiri, tetapi figurasi memubutuhkan acuan simbolis. Dalam hal ini, apa yang boleh ditiru, dan apa diciptakan? Bagaimana dengan realisme foto? Sejauh mana mengungkapkan realita, atau mata sang ahli foto. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tidak penting untuk J-PHILIPPE, karena unsur grafisnya dibuat berdasarkan foto-foto yang dialihkan ke kertas. Tetapi semua kelihatan berjalan tanpa masalah. Foto-foto J-PHILIPPE bermutu tinggi, seperti terlihat pada pameran foto yang menyertai pameran lukisan. Penyisipan adegan foto itu memungkinkan representasi gerak tubuh dan adegan yang tak terpikirkan di dalam figurasi biasa. Apalagi J-PHILIPPE tidak meniru foto-fotonya begitu saja, dia terinspirasi oleh imaji-imaji yang kemudian dia olah kembali. Jadi representasi diperkaya. Seperti di seni foto, kita mendapatkan seleksi realita; seperti di lukisan, kita mendapatkan pula “figurasi ciptaan”.
Jadi sebagai jawaban atas masalah pertemuan genre, lukisan-lukisan J-PHILIPPE berada tepat di persimpangan abstraksi dan figurasi, lukisan dan fotografi.
Bagaimana dengan isi figuratif. Mungkin saja pendukung seni kontemporer akan mengecam pemilihan tema J-PHILIPPE: Bali, sebagai “eksotik”, bahkan tanpa melihat karyanya. Akan dikatakan sebagai tanda kuasa pasca-kolonial, oleh orang asing, atas suatu dunia yang tidak dimengerti oleh dia. Boleh jadi begitu. Tetapi, bukankah masih ada keindahan di Bali, yang jarang diperlihatkan dengan talenta setinggi J-PHILIPPE. Dan mengapa seorang seniman harus dipaksa terjun di dalam dunia seni kontemporer yang sarat politik bila sensitivitasnya lain, dan menjadikannya merasa marjinal di dunia kekinian. Bukankah orang seperti J-PHILIPPE “berhak” memandang kehidupan pedesaan Bali sebagai lebih utuh dan seimbang dibandingkan kehidupan di tengah gemerlap modern. Bukankah dia berhak pula menjauh diri dari kontradiksi-kontradiksi kekinian dan mengidealisasikan keseimbangan sosial dan fisik yang masih ditemukan di dunia tradisional Bali.
Pada tataran lebih mendalam, lukisan-lukisan J-PHILIPPE bukanlah lukisan eksotis. Eksotisasi pada dasarnya bertumpu pada kesalah-fahaman: menitikberatkan perbedaan-perbedaan yang tampil secara luar pada budaya yang bersangkutan, sedangkan perbedaan-perbedaan itu bukanlah inti, melainkan detil-detil budaya yang bersangkutan. Semisal di Bali upacara-upacara, banten-banten dan unsur-unsur serupa yang telah membangun citra pulau ini sebagai Firdaus dunia. J-PHILIPPE tidak tertarik oleh eksotika itu. Sosok-sosok manusia yang dihadirkan pada karyanya justru tidak tampil « berbeda » nan jauh, tetapi « sama » nan dekat karena keintiman yang melekat pada mereka. Apa yang J-PHILIPPE melihat pada mereka adalah “banal”nya gerak tubuh dan suasana kebersamaan yang menjadikan mereka seolah sebagai manusia tak ternoda – manusia panutan untuk kita semua. Persepsi Bali sebagai tanah tak ternoda ini amatlah personal pada J-PHILIPPE. Dan tidak dipaksakan pada kita. Namun justru meresap lebih dalam lagi di dalam kalbu kita melalu warna lelehan/wash. Disitu terlihat apa yang merupakan hal terbaik pada seniman, melampaui ketrampilan stilistik dan teknik: sensitivitasnya sebagai manusia berimam yang terbuka pada orang lain dan manusia pada umumnya.
J-PHILIPPE bukanlah seniman bergaya narsis seperti banyak ditemukan di dunia seni. Dia tidak terobsesi oleh diri atau oleh seninya. Bisa berkali-kali berjumpa dengan dia, dan dia tidak akan “memaksakan” seninya pada anda; bahkan mungkin anda tidak akan diberitahu bahwa dia adalah seorang seniman dengan “pesan” pribadi. Dia akan membiarkan anda, dan siapapun, “ngomong, membicarakan “seni”, “ekspresi,” “konsep” dan sebagainya. Namun, tanpa diketahui siapapun, sepulang di rumahnya, dia akan menutup diri di lumbungnya di tengah sawah di Mas, Ubud, dan apa yang akan dilakukannya?: mengambil pensil lukis, membuka komputernya, dan bekerja, bekerja...hingga melahirkan dunia impiannya: amat pribadi, intim dan sensitif.
Sensitivitas dan diskresi memanglah benang merah kehidupan J-PHILIPPE. Terlahir di Perancis pada.....dia tidak datang ke Indonesia untuk “menemukan” Firdaus pariwisata; dia tidak juga datang untuk bekerja dan karena alasan ekonomi. Dia datang untuk mengabdi pada imannya. Berasal dari keluarga Katolik yang soleh, setelah belajar pada "Ėcole Boulle" – sekolah seni dan kerajinan kota Paris yang terkenal itu- dia datang ke Bali pada tahun 1991 sebagai seorang bruder muda untuk membantu mengembangkan sekolah kerajinan yang telah dibuka di Gianyar oleh Pastor Le Coutour dan masyarakat Katolik setempat. Setiba di Gianyar, dan kemudian di Mas, di mana dia kini tinggal, dia menemukan di dalam kehidupan pedesaan di sekelilingnya suasana tenang yang cocok dengan jiwa meditatif nan religiusnya. Dia melihat orang di sekitarnya sebagai “saudara” yang berjiwa saudara. Yang hidup di dalam suasana dimana kehidupan agama masih merupakan kehidupan bersama.
Seperti diidamkannya sendiri.
Ada sesuatu yang boleh dipastikan pada J-PHILIPPE. Sebagai orang yang lurus, bekerja keras dan diskret, dia tak bakal peduli dengan tren-tren seni. Karya-karya masa mendatangnya, apapun evolusi stilistiknya, pasti akan tetap berciri seperti sekarang. Pasti akan berjiwa sensitif.
Please note
[1] Sosiolog Prancis, intelektual dan kritic seni khususnya pada kesenian lukis di daerah Ubud, menetap di Bali selama tiga puluh tahun.